Pernikahan merupakan suatu upacara atau perayaan sakral yang mengikat sebuah hubungan dari dua orang insan manusia, laki-laki dan perempuan untuk menjalin ikatan menjadi sepasang suami istri. Di Indonesia, pernikahan biasanya diadakan di area terbuka atau tempat umum yang didatangi banyak orang. Namun, berbeda hal nya dengan di Jepang, pernikahan secara tradisional di Negeri Sakura berlangsung secara tertutup dan privat dengan hanya didatangi beberapa kerabat terdekat saja. Upacara pernikahan tradisional ini dilakukan di kuil suci yang dipimpin oleh seorang pendeta Shinto. Hampir serupa dengan beberapa tradisi di Indonesia, masyarakat Jepang masih mempercayai perhitungan Kalender Jepang soal aturan hari baik dan buruk untuk merayakan pernikahan.
Pernikahan di Jepang biasanya marak digelar saat periode musim semi dan musim gugur yang umumnya bulan Juli lebih sering dipilih sebagai bulan baik untuk melangsungkan pernikahan. Mayoritas masyarakat Jepang lebih menyukai gaya pernikahan ala Barat dengan memilih gereja sebagai venue pernikahan dengan dipandu oleh seorang Pendeta, sekalipun kedua mempelai tidak beragama Kristen. Mereka yang tertarik dengan upacara pernikahan bergaya modern ini beralasan karena ingin mengenakan balutan gaun cantik berwarna putih bagi mempelai wanita, dan jas hitam rapih bagi mempelai pria. Selain itu, upacara pemotongan kue, pertukaran cincin, dan prosesi pernikahan modern ala Barat lainnya pun menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat Jepang.
Meski begitu, masih banyak juga masyarakat Jepang yang lebih menyukai gaya pernikahan tradisional yang kaya akan nuansa sakral ala agama Buddha dan Shinto. Dalam upacara pernikahan tradisional Jepang ini kedua pasangan pengantin masing-masing memakai pakaian tradisiona kimono Jepang khusus pernikahan. Jalannya upacara sakral ini dipimpin oleh pendeta dan disaksikan hanya dengan beberapa anggota keluarga dan kerabat dekat saja. Selain itu, ada beberapa keunikan yang hanya bisa kalian temui di tradisi upacara pernikahan bergaya tradisional Jepang ini, salah satunya yaitu seluruh kulit dari mempelai wanita biasanya akan diberi cat berwarna putih sebagai simbol kesucian para dewa. Upacara berlangsung secara khidmat dan orang Jepang percaya setelah melakukan rentetan upacara pernikahan tradisional ini pasangan pengantin dan kedua keluarga besar akan dipersatukan secara rohani.
Sumber: https://www.tripadvisor.com/
Budaya adat pernikahan tradisional di Jepang biasa disebut Shinzenshiki (神前式) yang secara harfiah menurut penggalan kata dalam Bahasa Jepang yaitu ‘Shin’ berarti Tuhan, ‘Zen’ berarti depan, dan ‘Shiki’ berarti ritual atau upacara. Jadi, secara keseluruhan Shinzenshiki didefinisikan sebagai sebuah upacara atau ritual yang dilangsungkan dihadapan Tuhan dan diselenggarakan di sebuah kuil suci dalam kepercayaan agama Shinto. Sebelumnya, kedua pasangan yang hendak menikah menentukan perjodohan mereka dengan dua cara, yakni Omiai (お見合い) yaitu pertemuan antar kedua keluarga atau biasa diartikan sebagai hubungan perjodohan, dan Ren’ai (恋愛) yaitu kedua calon pasangan pengantin menentukan sendiri melanjutkan hubungan ke tahap pernikahan.
Sebelum melangsungkan pernikahan, layaknya acara tunangan atau khitbah yang dilakukan masyarakat Indonesia sebelum menikah, di Jepang juga terdapat acara serupa yang disebut Yuinoo (結納). Dalam proses Yuinoo, kedua keluarga dari calon pasangan akan berkumpul dan saling bertukar uang dan hadiah pertunangan. Pihak calon mempelai pria akan memberikan sejumlah uang kepada pihak keluarga calon mempelai wanita, yang kemudian ditukar oleh hadiah berupa barang-barang seperti alat-alat rumah tangga yang diberikan pihak calon mempelai wanita kepada pihak calon pengantin pria. Namun, sebanyak 70% pasangan di Jepang hanya akan melakukan pertemuan keluarga saja tanpa menggelar tradisi Yuinoo sebelum dilangsungkannya acara pernikahan.
Sumber: http://lucky-japan.blogspot.com/
Pada tahun 1990, kaisar Jepang pada masa itu memulai upacara pernikahan Shinzenshiki ini dengan gaya Shinto untuk pertama kalinya. Namun, tren pernikahan tradisional ini baru populer setelah masa berakhirnya Perang Dunia II. Sebelumnya, orang Jepang hanya melangsungkan upacara pernikahan dengan berdiri di depan altar yang berlokasi didalam rumah pengantin pria. Kini, walaupun mayoritas orang Jepang lebih menyukai upacara pernikahan bergaya kebaratan, beberapa orang masih lebih memilih Shinzenshiki karena alasan pelestarian budaya asli Jepang. Tradisi pernikahan tradisional Jepang ini kian populer di kalangan anak-anak muda zaman sekarang yang sangat mencintai dan ingin terus melestarikan kebudayaan tradisional asal Negeri Sakura tersebut.
Sumber: https://www.combossaweddinginvitations.co.uk/
Biasanya sebelum merayakan pernikahan, lazim bagi kedua calon pengantin akan mengirimkan surat undangan pernikahan ke kerabat dan sanak saudaranya. Di Jepang, surat undangan pernikahan memiliki desain yang unik, yaitu dengan bertema karakter animasi khas Jepang. Kemudian, nantinya si penerima undangan juga diwajibkan untuk membalas surat undangan tersebut melalui POS atau jasa kurir pengiriman. Surat balasan itu biasanya berisi jawaban akan menghadiri atau tidak, dilengkapi alasan tertentu jika tidak berkenan hadir. Untuk menambah kesan spesial, bisa juga dibarengi dengan kiriman kado berupa barang tertentu. Namun, bukan sembarangan kado yang bisa kita kirim kepada calon pengantin. Beberapa barang dilarang untuk dijadikan hadiah yaitu barang-barang yang tajam seperti pisau, serta benda-benda yang rentah pecah seperti cermin, gelas dan piring kaca. Menurut kepercayaan orang Jepang, barang-barang tersebut diyakini mampu membuat hubungan kedua pasangan nantinya berakhir dengan putus, retak, atau pecah belah.
Sumber: https://wedding-in-japan.serendipity-flower.com/
Prosesi upacara pernikahan tradisional Jepang diawali dengan iring-iringan yang dipandu oleh dua orang gadis pelayan kuil yang memimpin sepanjang jalan menuju pintu masuk bangunan kuil. Sebelum memasuki kuil, kedua pengantin biasanya membasuh kedua tangannya dengan air suci yang ada diluar kuil, proses ini disebut Chouzuno-gi (手水の儀). Setelah semua orang memasuki kuil bersama dengan kedua pengantin, pendeta Shinto akan melakukan ritual pensucian yang biasa disebut Shubatsu (修祓). Proses bersuci ini bermakna agar acara pernikahan berjalan lancar dan pasangan pengantin berada dalam kondisi yang suci dan bersih. Lalu, dilanjutkan dengan pembacaan doa dalam ritual agama Shinto oleh pendeta yang disebut Norito-shoujo. Doa ini dibacakan sebagai bentuk permohonan kepada Dewa agar memberkati kedua orang pasangan pengantin baru ini.
Sumber: https://www.japanhouse.jp/
Tradisi selanjutnya adalah san-san kudo, yaitu kedua calon mempelai diharuskan meyeruput 3 tumpuk cangkir sake sebanyak 9 kali secara bergantian. Angka 9 merupakan angka keberuntungan dalam kepercayaan Jepang. Kedua pasangan duduk tenang sambil meminum sake dengan mengharapkan panjang umur. Pengantin pria akan meminum sebanyak 3 tegukan sake terlebih dahulu, yang kemudian diikuti oleh pengantin wanita melakukan hal yang sama. Ketiga cawan ini memiliki makna yaitu cawan kecil melambangkan masa lampau, cawan sedang menunjukkan masa sekarang, dan cawan besar menggambarkan masa depan. Selanjutnya, mereka akan menyuguhkan sake tersebut kepada anggota keluarga lain secara berurutan, yakni ayah pengantin pria dan ibunya, ayah pengantin wanita dan ibunya, kemudian perantara jodoh atau mak comblang jika ada, baru setelah itu dilanjutkan tamu-tamu undangan lainnya. San-san Kudo merupakan inti acara dalam rentetan upacara pernikahan tradisional Jepang.
Sumber: https://wafuku.me/
Momen terpenting dalam semua upacara pernikahan adalah pembacaan ikrar atau janji pernikahan, tak terkecuali dalam pernikahan tradisional di Jepang. Kedua mempelai akan saling berhadapan mengucapkan janji suci yang biasanya ditulis oleh para pendeta pengurus rumah ibadah, tempat upacara pernikahan berlangsung. Setelah teks janji suci itu telah selesai dibacakan, seluruh keluarga dan kerabat akan menuangkan sake sebagai tanda bersatunya ikatan suci sepasang insan dalam tali pernikahan ini. Setelah ikrar pernikahan selesai dibacakan, kedua pengantin bisa melanjutkan dengan pertukaran cincin jika dihendaki. Pernikahan pun telah dianggap Sah!
Sumber: https://japanoholic.dk/
Setelah mengucapkan janji suci, pengantin wanita akan diminta memilih antara dua topi pernikahan tradisional Jepang. Yang pertama, adalah penutup kepala berwarna putih disebut ‘Tsuni Kakushi’ (menyembunyikan tanduk) yang dipenuhi ornamen rambut kanzashi diatasnya, bertujuan untuk menyembunyikan “tanduk kecemburuan” dan menghalau egoisme dari hadapan ibu mertua. Tudung yang menempel bersamaan dengan kimono putih tersebut juga melambangkan ketetapan hati sang wanita agar menjadi istri yang patuh, lembut, dan bersedia melakukan peran sebagai istri yang penuh kesabaran dan ketenangan. Yang kedua, adalah ‘Wata Boushi’ yang dipakai untuk menyembunyikan wajah mempelai wanita dari orang lain kecuali mempelai pria. Hal ini bermaksud menggambarkan kesopanan sang mempelai wanita. Selama berlangsungnya upacara, mempelai pria memakai kimono berwarna hitam. Kemudian, tudung putih akan diturunkan oleh sang ibu dari mempelai perempuan sebagai tanda bahwa ia menyerahkan anaknya kepada sang mempelai pria, dengan diiringi sang ayah yang perlahan berjalan disampingnya menuju kearah altar.
Sumber: https://www.manhattanbride.com/
Upacara pernikahan tradisional Jepang ditutup dengan membuat persembahan kepada Dewa dengan menaruh cabang atau ranting Sasaki, sejenis pohon keramat di altar. Kemudian, untuk memantapkan ikatan pernikahan ini, semua peserta yang terlibat selama ritual melakukan pertukaran cangkir antar pihak keluarga kedua mempelai. Masing-masing pihak berbagi dua cangkir yang melambangkan bersatunya dua keluarga besar. Terakhir, pendeta akan menutup ritual dengan sambutan pendeta atau biasa disebut Saishu-aisatsu, kemudian diikuti dengan semua peserta yang hadir membungkuk kearah altar sambil mengucapkan selamat.
Sumber: https://theashinas.com/
Di Jepang, ada beberapa aturan khusus bagi para tamu undangan, diantaranya yaitu wajib memberikan uang sumbangan resepsi yang terbilang cukup mahal, yaitu berjumlah antara 2000-3000 Yen atau sekitar Rp 250-350 ribu yang kemudian akan ditukar dengan ‘Hidekimono’ atau yang biasa dikenal dengan pernak-pernik pernikahan. Hidekimono yang diberikan biasanya berupa handuk, peralatan makan, dan pernak-pernik cantik lainnya. Selain itu, seluruh peserta ritual pernikahan, MC atau pembawa acara, serta para tamu undangan juga dilarang mengucapkan beberapa kata yang dipercaya membawa kesialan. Kata-kata tersebut diantaranya adalah Hanareru (berjauhan), Owaru (berakhir), Wakareru (berpisah), dan Kiru (memotong).
Sumber: https://www.pinterest.com/
Di hari pernikahan, kedua mempelai pengantin biasanya memberikan sebuah hadiah kepada kedua orang tua dari masing-masing pengantin, berupa barang-barang yang menarik. Hal tersebut bertujuan sebagai tanda terima kasih dan berbagi rasa kebahagiaan di hari pernikahan tersebut.
Itulah urutan atau tahapan yang biasa dilakukan dalam upacara pernikahan tradisional di Jepang yang sakral dan penuh dengan khidmat. Selain bertujuan untuk melestarikan budaya, pernikahan tradisional ini sarat akan nilai-nilai pernikahan yang harus diterapkan oleh kedua pasangan mempelai pria dan wanita saat berumah tangga nanti.
Nah, bagi kalian yang tertarik tinggal atau berkunjung ke Jepang dan ingin mencoba merasakan nuansa pernikahan tradisional ala Negeri Sakura tersebut, tidak cukup hanya dengan mempersiapkan perbekalan fisik dan informasi umum seputar Jepang saja. Namun, juga diperlukan kemampuan berbahasa Jepang yang fasih. Rutin berlatih adalah salah satu cara untuk dapat terus mengasah kemampuan Bahasa Jepang yang telah kita kuasai dan dipraktekkan langsung dalam obrolan berbahasa Jepang. Atas dasar itulah, Tensai Nihongo Bunka Gakuin hadir sebagai LKP Bahasa Jepang terdepan dan terpercaya nomor 1 di Karawang, bahkan Jawa Barat. Kami siap membantu Anda mewujudkan impian agar bisa fasih mengucapkan kalimat-kalimat dalam Bahasa Jepang.
Tensai juga menyediakan layanan jasa penerjemah Bahasa Jepang-Indonesia yang terpercaya dan bersertifikasi. Kami selalu berkomitmen untuk terus memberikan pelayanan terbaik bagi para pelanggan setia Tensai. Tensai Nihongo Bunka Gakuin telah berkiprah selama lebih dari 8 tahun melayani masyarakat akan kebutuhan jasa kursus dan pelatihan Bahasa Jepang, serta penerjemah cepat Bahasa Jepang dari dan ke Bahasa Indonesia.
Lokasi kantor pusat Tensai pun sangat mudah dijangkau dan dekat dengan pusat perkotaan Karawang. Kami juga telah bekerjasama dengan lebih dari 80 perusahaan besar di kawasan perindustrian Karawang dan sekitarnya. Bagi Anda yang tertarik dengan jasa layanan yang Kami tawarkan, dapat langsung mendatangi kantor pusat Tensai Nihongo Bunka Gakuin di alamat Ruko Emporium, Jl. Galuh Mas Raya No.5, Sukaharja, Kec. Telukjambe Timur, Kab. Karawang, Jawa Barat. Atau bisa juga dengan menghubungi layanan kontak pelanggan Kami yang tertera di pojok website, serta dengan mengakses akun-akun sosial media Tensai agar dapat terus mengupdate perkembangan terkait promo-promo terbaru yang Kami tawarkan, dan mendapatkan informasi-informasi menarik seputar Jepang dan budayanya.
Artikel di atas dibuat dengan bersumberkan: